Sukses di Belanda, Kerap Dicemooh Tak Cinta Negeri Sendiri.
Nama Dessy Irawati di Indonesia memang kurang populer. Namun, gaung namanya begitu harum di luar negeri, khususnya di Eropa. Ini karena jabatannya sebagai Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Indonesia sedunia. Kantornya pun berada di Amsterdam, Belanda.
Logat Eropa begitu dominan di setiap kata yang diutarakan Dessy Irawati saat berbincang dengan Jawa Pos Radar Malang di rumahnya di Permata Jingga kemarin. Maklum, sudah 13 tahun, perempuan asli Malang ini tinggal di Belanda. Karena itu, bahasanya pun gado-gado, antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, sesekali dengan bahasa Malangan.
Meski menjabat posisi penting sebagai Ketua Ikatan Ilmuwan Indonesia sedunia, dia tetap easy going. Dia begitu ramah dengan siapa saja. Dia begitu antusias menceritakan kisah suksesnya hingga memimpin 500 ilmuwan Indonesia yang tersebar di seluruh dunia.
Perempuan 34 tahun yang kini tinggal di Belanda ini menjelaskan bahwa dirinya adalah sosok yang ambisius dan disiplin. Semasa sekolah di MIN 1 Malang, SMPN 1 Malang, dan SMAN 3 Malang, dia selalu meraih ranking 1 atau 2. Hingga pada akhirnya, dia meraih cumlaude yakni dengan IPK 3,8 pada Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Brawijaya. ”Percaya atau tidak, selama kuliah, saya masuk ke perpustakaan hanya dua kali saja, tapi itu jangan ditiru ya,” ujarnya seraya tertawa.
Jarang ke perpustakaan bukan berarti dia tak suka buku. Sebaliknya, dia justru suka membaca buku di rumahnya di Permata Jingga. Menurutnya, rumah adalah tempat yang sangat tenang dan nyaman.
Keberhasilannya itu tak lepas dari kebiasaannya selama duduk di bangku sekolah maupun kuliah, selalu membuat catatan dengan tulisan tangan setiap pelajaran yang dia terima. Tulisannya pun jelek sekali. Hanya dia yang bisa baca catatan tersebut. ”Itu sebabnya dulu teman-teman saya paling malas meminjam catatan saya,” kenangnya.
Lalu di rumah, dirinya pun menulis ulang tulisan tangannya yang tidak rapi dengan tulisan yang serapi mungkin. ”Waktu terbaik saya adalah jam 3 pagi. Jadi, saya selalu bangun untuk salat Tahajud, lalu belajar dan mencatat ulang tiap tulisan saya selama di sekolah,” sambungnya. Menurut putri dari pasangan Sumartono dan Mujiwati ini, belajar itu adalah tentang pengulangan. ”Jika tidak diulang atau dipraktikkan, maka akan cepat lupa,” tandas perempuan yang juga fasih berbahasa Belanda ini.
Dia memilih bidang ekonomi karena menurutnya bidang tersebut sangat menantang. ”Selain karena keadaan ekonomi yang selalu berubah-ubah setiap detiknya, juga karena kita bisa melakukan apa pun dengan bidang ini,” ujar bungsu dari dua bersaudara ini.
Setelah lulus dari FEB UB, dia pun mulai mencari-cari tempat kuliah yang bagus untuk melanjutkan S2.
Dia pun memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di Newcastle University Business School, Inggris, hingga ke jenjang S3 bidang Strategi Bisnis Internasional dan Geografi Ekonomi, setelah sebelumnya dia sempat bekerja di perusahaan Panasonic di Batam.
Selama di Inggris, dia aktif dalam berbagai kegiatan kampus dan kegiatan mahasiswa Indonesia yang berada di Eropa. ”Kita harus membangun networking seluas-luasnya, itu kunci suksesnya,” tandasnya.
Setelah kemudian dia bertemu dengan suaminya yang dinikahinya 2011 silam, Roel Rutten PhD yang juga dia kenal di kampus tersebut. Ketika mengambil gelar doktor, dirinya langsung join dengan Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia hingga akhirnya dia didaulat menjadi ketua umum pada September 2013 lalu. Tak hanya itu, dirinya pun menjadi CEO Eduprime Creative, yaitu perusahaan konsultan edukasi dan riset untuk para akademisi dan ilmuwan yang dia dirikan pada Agustus 2012.
Menjadi seorang ilmuwan dan CEO perusahaan membuatnya memberi gelar sendiri pada pekerjaannya, yakni edupreneur. ”Edupreneur berarti pengusaha yang juga sangat peduli pada bidang pendidikan karena kebetulan perusahaan saya juga menggeluti bidang pendidikan juga,” beber perempuan yang hobi bersepeda itu.
Menurutnya, menjadi ilmuwan di negeri orang tidaklah mudah. ”Di luar sana, kita benar-benar bersaing dengan seluruh warga dari berbagai negara,” ungkap dia.
Dia menjelaskan bahwa di luar negeri adalah benar-benar sebuah kompetisi. ”Saingannya berat sekali, jadi ketika kita mampu bersaing di internasional, maka menetaplah di sana dan hadapilah persaingan itu,” sambungnya.
Persaingan tingkat ASEAN yang akan dihadapi di Indonesia 2015 mendatang, menurutnya, bagus karena akan membuka lebar persaingan internasional.
Tak hanya itu, kesulitannya yakni sering kali ilmuwan di luar negeri disindir dan dicemooh orang dalam negeri. ”Mereka bilang kita tidak berbakti pada negara, padahal mereka sama sekali tidak tahu kenyataannya bagaimana,” tandasnya.
Dia menjelaskan, malah ketika di luar itu, para ilmuwan sangat mengabdi pada negara dengan membuat riset atau penghargaan dengan membawa nama Indonesia. ”Justru kita menjadi sangat nasionalis ketika kita berada di negeri orang lho,” tambahnya.
Untuk ke depannya, masih banyak yang akan dia lakukan, khususnya untuk Indonesia. ”Saya akan menjadi executive consultant untuk BNI yang akan expand ke Belanda. Rencananya, 1 November mendatang,” bebernya.
Tak hanya itu, dia juga akan semakin sering mengadakan pertemuan, baik dengan ilmuwan Indonesia yang berada di luar negeri dan juga pertemuan dengan para ilmuwan di dalam negeri agar networking semakin luas.
Untuk rencana kembali ke Indonesia, dirinya menjawab dengan pasti bahwa akan kembali ke tanah air. ”Saya ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan orang tua saya yang semakin sepuh,” tuturnya.
Namun, tidak dalam waktu dekat ini. ”Tapi pasti saya akan kembali. Saya ingin meninggal di Indonesia,” tutupnya.
Sumber : Jawa Post, 3 Oktober 2014