Penulis: Dr. Taruna Ikrar, MD., PhD
(Adjunct Professor, dan Pengajar di Fakultas Kedokteran, University of California, Amerika Serikat)
PADA tahun 2015, CNN melaporkan berdasarkan Indeks Kemacetan dan hasil penelitian Castrol Motor, Ibu kota Republik Indonesia, DKI Jakarta menjadi juara macet nomor satu di dunia. Bahkan Jakarta merupakan kota terburuk di dunia untuk kategori kemacetan lalu lintas.
Hal ini dilandaskan pada perhitungan berapa jumlah rata-rata saat kendaraan bermotor berhenti, dan mulai kembali bergerak, yaitu sebanyak 33.240 kali per tahun di jalan. Dengan atau tanpa perhitungan diatas pun, penulis yakin masyarakat DKI Jakarta merasakan betapa tersiksanya dalam mengalami kondisi macet setiap harinya.
Telah menjadi pemahaman umum bahwa Jakarta memiliki titik kelemahan pada dua hal yang sangat urgent, yaitu: macet dan banjir. Dimana kedua masalah besar ini sebenarnya berkaitan dan merupakan dampak dari pemetaan, penataan dan perencanaan kota yang sangat buruk.
Dewasa ini, pemetaan lahan sudah menjadi keharusan, dan dalam implementasinya harus bersifat tiga dimensi, yaitu: bagaimana per-meter persegi dipetakan dan digunakan. Di kota-kota besar dan terbaik dunia, pemetaan dan pemanfaatan kota bahkan sudah diukur dan dipikirkan penggunaannya sampai hitungan per-centimeter-nya.
Sementara Ibu Kota Jakarta masih mengalami ketertinggalan. Padahal “mapping” sangat bermanfaat dalam upaya perencanaan tata kota. Sebagai perbandingan, dalam pandangan Neurosains, Pemetaan Otak dimulai pada cortex otak atau system neural kita. Neurosaintis melakukan pemetaan dan perhitungan sampai pada level mikro hingga ke level nano dimana peneliti neurosains, dapat mengerti struktur dan fungsi otak dalam tiga dimensi yaitu: fungsi dinamik “ter- interaksi dan ter-struktur.”
Selanjutnya dalam konteks Neurobiologi kita umpamakan jalan-jalan di Jakarta seperti pembuluh darah kita. Kalau konsentrasi lemak atau glukosa di darah kita terlalu tinggi maka penumpukan di pembuluh darah pasti menyebabkan masalah seperti darah tinggi, diabetes bahkan bisa menyebakan stroke, jantung coroner, dan seterusnya.
Filosofi cara mengatasinya sama, pertama kita tingkatkan angkutan umumnya. Apa itu angkutan umumnya? Misalnya kadar lemaknya tinggi, ada dua jalur, 1) lemak dipecahkan atau 2), lemak ditarik kembali ke hati. Nah angkutan umumnya ada dua pula didalam darah, yaitu: 1). HDL (High density lipoprotein) Lemak bagus dan 2). LDL (Low density lipoprotein) Lemak Jahat.
LDL membawa lemak dari hati ke seluruh tubuh yang mengakitbatkan penumpukan dan congestion di pembuluh darah sama seperti kondisi jalan di Jakarta sekarang. Sedangkan, HDL menarik lemak dari perifer atau seluruh tubuh kembali ke hati. Seharusnya di Jakarta diciptakan aspek itu, angkutan umum diperbaiki dan ditingkatkan secara maksimal, seperti fungsi HDL di dalam darah.
Dalam kenyataannya pemerintah DKI Jakarta sudah memulai mengantisipasi kemacetan tersebut, tetapi belum serius dalam hal ini. Busway pun egois, malah bikin jalan yang sudah sempit makin tambah sempit. Dalam konteks pemikiran Neurosains, “DKI Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, perlu ditata seperti ‘brain mapping’, agar kita dapat menggunakan setiap meter persegi dengan maksimal dan efisien. Perlu diidentifikasi dulu setiap daerahnya, jangan hanya memikirkan mall, perumahan dan perkantoran. Kita harus juga identifikasi dan perkirakan daratan tinggi, rendah, jalur-jalur air dan ketinggian/kemiringan dan juga fungsi hutan lindung dan masih banyak lagi.”
Mapping yang baik dapat memberi kita data mengenai densitas sebuah area dan jumlah rumah dan penduduk di area tersebut dan dari data yang kami punya kami ciptakan solusi untuk mencegah community congestion dan menata kebali dengan akurasi dan cara yang tepat dan sustainable.
Sehingga secara sederhana, seharusnya kelebihan kendaraan yang mengakibatkan macet, maka solusinya adalah kurangi jumlah kendaraan. Contohnya di Amerika, mobil tua dan mobil yang tidak lulus uji emisi dibeli dan didaur ulang oleh pemerintah. Demikian pula kita harus konsisten dalam mengimplementasikan aturan, saya yakin sampai 30 persen mobil di Jakarta sekarang akan diberhentikan. Tentu keputusan diatas tidak sesederhana yang dipikirkan, memerlukan pemimpin Jakarta dengan mentalitas “nothing to lose” atau yang berani mengambil risiko.
Dalam konsep yang lain, kita bisa belajar dari negeri Jepang dan Amerika, dimana masyarakatnya memiliki kebiasaan lebih senang menggunakan kendaraan umum dibanding memakai kendaraan pribadi. Sebab jika masyarakat Indonesia bisa membudayakan kebiasan tersebut, maka diyakini akan mengurangi kemacetan lalu lintas yang semakin menggila di Jakarta.
Strategi yang utama adalah membuat aturan hukum lalu lintas secara ketat dan menjalakan secara maksimal, misalnya dengan:
a). menerapkan aturan ujian SIM yang ketat. Sehingga orang tidak boleh sembarangan dan sangat sulit mendapatkan SIM. Karena sulitnya ujian tersebut, tak heran banyak orang Jepang, atau California yang harus mengulanginya kembali, bukan hanya sekali dua kali tapi bisa sampai 10 kali untuk bisa lulus dalam ujian membuat SIM.
b). Mahalnya Biaya Membuat SIM dan ini alasannya, biaya membuat SIM sangat mahal. Siapa coba yang mau mengulangi ujian membuat SIM sampai berkali-kali kalau biayanya sangat mahal.
c). Mahalnya Tarif Tol, jalan tol adalah jalan yang disediakan pemerintah untuk mempercepat jarak tempuh kendaraan. tetapi jika di Jepang, untuk menikmati fasilitas jalan tol haruslah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
d). Mempermahal Biaya Parkir,
e). Meningkatkan kualitas Transportasi Umum yang nyaman dan tepat waktu.
Dengan transportasi umum yang baik, disertai budaya disiplin dan hidup sederhana, serta menerapkan aturan yang ketat, dapat diyakini bahwa kerumitan kemacetan lalu lintas di Jakarta pada khususnya dan kota-kota besar lainnya di Indonesia dapat diselesaikan.
Sumber : Tribun News