Jakarta – Indonesia sudah mengajukan proposal untuk bergabung dengan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Pada awal Desember 2014 Menteri Keuangan Republik Indonesia akan terbang ke Tiongkok untuk memastikan proses bergabungnya Indonesia ke dalam institusi keuangan global ini.
Republik Rakyat Tiongkok bersama 21 negara di Asia mendeklarasikan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) pada 24 Oktober 2014. Bank ini diharapkan mampu mendorong pembangunan infrastruktur di negara-negara Asia. Tiongkok, sejak pertemuan APEC di Bali tahun 2013 telah mengungkapkan rencana pembangunan ini. Terdapat pertimbangan ekonomi maupun politik yang melandasi, yaitu gap dana investasi yang tersedia untuk pembangunan infrastruktur Asia serta dominasi Amerika Serikat di Bank Dunia dan Jepang di Asian Development Bank. Tiongkok sebagai negara yang akan menjadi negara ekonomi terbesar dunia, mengalahkan Amerika Serikat, tentu memiliki kepentingan untuk membangun sebuah institusi keuangan global yang dipimpin oleh mereka.
Menariknya, berbeda dengan ‘pendahulunya’ (Bank Dunia dan ADB) yang mendanai urusan infrastruktur, demokrasi, hingga kesetaraan gender, AIIB menegaskan hanya akan fokus pada urusan pembangunan infrastruktur. Sebuah kebijakan yang menarik, sesuai dengan kekhasan Tiongkok yang berfokus pada melipatgandakan capital tanpa embel-embel kampanye ideologi dalam melakukan kerjasama.
The Economist pada 11 November 2014 memberitakan bahwa Indonesia bersama Australia dan Korea Selatan tidak jadi bergabung dalam deklarasi AIIB dikarenakan tekanan Amerika Serikat yang melihat AIIB sebagai saingan dalam kompetisi pengaruh ekonomi politik global. Dengan dalih ketidakjelasan transparansi dan belum sesuai dengan standar tatakelola pemerintahan global, Amerika Serikat membujuk sekutunya untuk tidak bergabung. Terlepas dari pandangan The Economist, penulis melihat Indonesia belum bergabung saat itu dikarenakan sedang proses transisi pemerintahan.
Penulis melihat setidaknya terdapat tiga peluang utama yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia dengan bergabungnya ke AIIB. Pertama, Indonesia memiliki opsi sumber pendanaan baru selain Bank Dunia, ADB, dan IMF. Berdasarkan informasi dari ADB, terdapat gap kebutuhan modal investasi di Asia hingga tahun 2020 sebesar USD 9 triliun. AIIB sendiri menyatakan siap menyediakan dana hingga USD 50 miliar untuk mulai mengimbangi ADB (USD 160 miliar) dan Bank Dunia (USD 230 miliar). Salah satu ciri khas dari Bank Pembangunan adalah suku bunga yang relatif rendah (1-2%), sehingga memungkinkan untuk menunjang proyek investasi infrastruktur jangka panjang.
Kedua, dengan berdirinya AIIB, maka tentu Bank Dunia dan ADB akan mendapatkan ‘pesaing’ baru. Kedua institusi ini tentu akan lebih adaptif dan fleksibel agar tidak kehilangan ‘pasar’ yang telah mereka bangun selama ini. Indonesia dapat meningkatkan daya tawarnya kepada kedua institusi tersebut dengan bermodalkan pasar konsumen yang besar serta rencana pembangunan infrastruktur secara massif dalam beberapa tahun mendatang. Ketiga, bergabungnya Indonesia ke AIIB berarti turut menempatkan Indonesia untuk mempromosikan reformasi tata kelola keuangan global yang didominasi oleh kepemimpinan Barat dan Jepang. Dengan bermodalkan potensi ekonomi yang besar, Indonesia dapat menjadi pemain penting dalam proses transformasi ini.
Jelas, kehadiran AIIB akan memberikan dinamika baru dalam tata kelola keuangan global. Bank Dunia dan ADB telah lama bertengger sebagai kekuatan besar, dengan kehadiran AIIB ada kemungkinan pengaruh dua institusi ini akan melemah di kawasan Asia. Namun, itulah kompetisi ekonomi dalam dunia neo-liberal saat ini, mereka yang bisa menawarkan kerjasama lebih kompetitif akan kedatangan pasar lebih banyak.
Keterbatasan anggaran yang harus berhadapan dengan kebutuhan ekspansi infrastruktur tentu membuat Indonesia perlu mencari sumber pendanaan alternatif. Bergabungnya Indonesia ke AIIB akan membuka babak baru investasi infrastruktur di Indonesia.
Sumber: Detik