Taruna Ikrar adalah pemegang paten metode pemetaan otak manusia yakni metode yang menggambarkan dinamika pada otak manusia secara rinci. Kepakarannya diakui secara internasional. Satu dari (hanya) lima cardioneoralogist di dunia ini juga penemu gene therapy, teknik terbaru pengobatan penyakit epilepsi. Kini dia sedang menuntaskan proyek terkait otak virtual.
Taruna pun seorang pakar farmasi, jantung, sistem saraf, dan electrophysiologist. Dia menjadi dokter pertama dari Indonesia yang bisa menerbitkan karya ilmiahnya di Jurnal Nature, jurnal ilmiah internasional ternama. Karya jurnal ilmiahnya bersama Kuhlman SJ, Olivas ND, Tring E, Xu X, dan Trachtenberg JT berjudul ”A Disinhibitory Microcircuit Initiates Critical Period Plasticity In Visual Cortex” (2013). Berikut petikan wawancara dengan pria yang mendapatkan penghargaan extraordinary ability dari Pemerintah AS ini:
Apa yang menyebabkan Anda begitu tekun mendalami bidang yang bagi kebanyakan orang sangat rumit?
Saya tertarik sekali. Saya sangat ingin tahu dan terus bertanya-tanya bagaimana cara otak mengontrol jantung. Setelah bekerja siang dan malam akhirnya terjawab. Untuk mendapatkan temuan harus berinovasi alat baru yang disebut voltage sensitive dye imaging and laser scanning photostimulation. Saya gabungkan kedua teknik itu dan berhasil. Saya patenkan di Amerika Serikat pada akhir 2009. Seharusnya, saya sudah kembali ke Indonesia setelah itu, tapi pihak AS terus memperpanjang masa kerja saya.
Jadi saya bertahan dan melanjutkan spesialisasi di School of Medicine, University California, AS mengambil neuroscience. Selain cardiology, saya juga ahli sistem saraf. Saat ini hal paling kompleks di dunia adalah sistem saraf. Seluruh tubuh kita dikendalikan oleh sistem saraf. Untuk itu, Presiden AS Barack Obama memberikan grant inisiator USD5 juta untuk laboratorium kami di
California. Saya bekerja sama dengan para penerima noble prize seperti Thomas S¸dhof. Sebagai scientist, ini kebanggaan bagi saya.
Jadi, kemampuan Anda di bidang cardiologydan neuroscience?
Iya. Kemampuan yang saya miliki merupakan gabungan keduanya yaitu cardiovascular system dan neuroscience yang disebut cardioneoralogist. Ini membuat saya spesifik karena tidak banyak orang di dunia yang seperti itu. Saat ini jumlah cardioneoralogist di dunia tidak lebih dari lima orang. Dari delapan teknik skill, hanya ada tiga orang yang mampu melakukannya. Saya menjadi satu
dari tiga orang tersebut. Berdasarkan kemampuan unik tersebut, kami bisa bargaining untuk keperluan riset. Keunikan itu yang membuat AS tidak mau melepas saya. Saya sempat diminta pindah warga negara, tapi Indonesia harus tetap dipertahankan.
Anda melanjutkan menjadi peneliti post-doctoral divisi neuroscience, School of Medicine, University California, Irvine, AS, padahal sudah meraih gelar S-3….
Saya ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang tertinggi yang bisa dilakukan oleh anak bangsa. Berangkat dari obsesi itu, mulailah saya menuntaskan sarjana kedokteran di Universitas Hasanuddin. Sebagai dokter, saya memilih melanjutkan pendidikan ke bidang pharmacologydi Universitas Indonesia. Lulus S-2, saya mengajukan beasiswa S-3 Mobukagakusho. Beasiswa ini diberikan Departemen Pendidikan, Kebudayaan, dan Teknologi Jepang kepada beberapa negara. Setiap tahun ada 3.000 pelamar dan hanya 30 orang yang diterima. Saya bersyukur menjadi satu dari 30 orang yang lolos seleksi hingga akhir. Saya mengambil Philosophy of Doctor (PhD) cardiology di Universitas Niigata, Jepang. Jika kita bekerja keras dan prospek kita dianggap bagus, bisa dapat double degree. Saya bersyukur mendapatkan gelar PhD dan Cardiologist. Usai di Niigata, saya melakukan visiting doctor ke Bologna University, Italia, pada 2007.
Setelah selesai menempuh pendidikan di Niigata, Anda belum juga kembali ke Tanah Air?
Sebenarnya saya sudah ingin kembali ke Indonesia, tapi ada ide yang belum terjawab. Saya masih penasaran. Penelitian itu berhubungan dengan sistem saraf dalam jantung yang menentukan bagaimana jantung bisa bergerak tanpa kita kendalikan dan ini berhubungan dengan otak. Akhirnya saya menyusun proposal riset ke Pemerintah AS tentang ini dan mendapat grantUSD150.000 untuk dua tahun.
Apa project terbaru Anda?
Dalam otak terdapat 100 miliar sel yang berasal dari seluruh tubuh. Satu sel punya 10.000 networking. Jadi networking keseluruhan mencapai 100-1000 triliun. Kompleks sekali bukan? Keahlian saya di pemetaan otak. Jika terdeteksi dengan baik, kami bisa melakukan akselerasi terhadap kemampuan berpikir karena kami bisa membuat otak virtual. Kami ada ambisi di situ (otak virtual). Pemerintah AS untuk tahun ini menyiapkan USD100 miliar. AS punya obsesi proyek ini rampung dalam waktu 10 tahun. Saya menjadi salah satu ahli yang terlibat.
Apa kegunaan otak virtual?
Kita punya kemampuan berpikir, tapi untuk berpikir terus menerus kan letih. Nah, otak virtual, notabene robot, tidak ada capeknya sehingga banyak produksi-produksi ilmiah yang bisa dijalankan dengan konteks otak virtual. Dalam konteks lain, ada orang yang tibatiba lumpuh, tapi otak kan masih berfungsi. Melalui pemetaan itu, kami ingin mencari jalan sehingga hanya dengan
gerakan, orang yang diajak bicara bisa mengerti apa yang kita katakan. Di aspek lain, kita bisa membaca pikiran orang lain. Sebenarnya, kami sudah memadukan dan mulai berjalan, tapi dasarnya adalah bagaimana menuntaskan 100 triliun networking tadi.
Anda menimba ilmu di tiga benua yaitu Asia, Eropa, danAmerika. Apa yang bisa Anda simpulkan dari tiga benua ini?
Belajar dari tiga negara maju, Jepang, Italia, dan ASyaitu mereka menjunjung tinggi fairness, kerja keras, dan menghargai ide orang lain. Tidak ada plagiat. Selain itu, semua struktur kepemimpinan dalam dunia pendidikan di Indonesia bersifat politis, sedangkan di negara maju struktur yang dipakai lebih ke arah profesional. Contohnya, ada kepala bagian di Jepang yang diminta jadi rektor,
tapi tidak mau sebab jika menjadi rektor, tidak ada waktu melakukan riset. Di AS tak pandang berasal dari negara mana asal punya kualitas dan kemampuan maka go head. Benar-benar bersaing.
Bagaimana kontribusi Anda untuk Indonesia?
Sebagai orang Indonesia, saya berpikir suatu ketika harus juga berkembang di bidang neuroscience. Karena itu, saya bekerja sama dengan Yohanes Surya, tokoh pendidikan. Beliau membangun universitas berbasis riset. Saya diangkat sebagai ketua program studi jarak jauh. Selain itu, saya membangun center yaitu lembaga yang saya mulai untuk mencari kader baru dari Indonesia atau jika ada riset saya di luar bisa ditransfer ke sini. Dengan begitu, universitas luar negeri dan Indonesia bisa bersama-sama menghasilkan karya ilmiah yang bagus.
Menjadi pembicara di berbagai kampus juga salah satu upaya mengembangkan neuroscience. Neuroscience ini kan ilmu baru. Ilmu yang bukan hanya menyangkut kedokteran, tapi semua bidang karena berkaitan dengan otak. Otak ini mengontrol semua organ dalam tubuh maka penting mempelajari neuroscience karena ini ilmu yang mempelajari tentang otak. Untuk aspek kedokteran, neuroscience bisa digunakan untuk menemukan terapi menyembuhkan berbagai kelainan seperti lumpuh, alzheimer, tumor, dan cacat. Jurusan ini paling diminati di AS karena setelah lulus bisa bekerja di semua sektor.
Apa pesan Anda bagi anak-anak muda Indonesia?
Untuk menggapai impian tidak mudah, diperlukan perjuangan yang sungguh-sungguh dengan mengerahkan semua kemampuan dan daya upaya. Untuk mencapai impian diperlukan proses panjang, jalan berliku, dan tidak selalu mulus. Yakinlah dengan semangat yang dimiliki bisa melewati berbagai rintangan dan mewujudkan impian tersebut. Bermimpilah yang besar yaitu menjadi orang yang memiliki manfaat bagi orang banyak. Meski sudah jauh di negeri orang, harus tetap memikirkan dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa sendiri.
Sumber : Koran Sindo, Minggu 6 April 2014