Ditulis oleh Dr. Johny Setiawan
Jumlah penduduk dunia, sampai dengan Maret 2014, sudah mencapai 7,155 milyar jiwa . Indonsia, dengan penduduk sekitar 247 juta jiwa , atau 3,45% dari total penduduk dunia, berada di peringkat ke-4 negara berpenduduk terpadat, setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Dengan asumsi pertambahan penduduk sebesar 1,5% per tahun, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2030 adalah sekitar 320 juta jiwa. Sedangkan pada tahun 2050 adalah 430 juta jiwa.
Jumlah penduduk yang banyak ini memiliki dampak pada jumlah kebutuhan hidup yang tentunya juga semakin besar. Salah satu masalah yang sangat fundamental adalah pemenuhan kebutuhan pangan. Dalam menjaga ketahanan pangan nasionalnya, Indonesia harus mempersiapkan persediaan pangannya secara sistematis dan berkelanjutan (sustainable) untuk mencukupi kebutuhannya.
Gambar 1: Hasil produksi pertanian Indonesia berdasarkan FAO tahun 2012 Indonesia adalah penghasil beras ke-3 terbesar di dunia. Selain itu, Indonesia juga unggul di produksi pertanian dan perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kopi, dan coklat.
Menurut data statistik badan pangan sedunia FAO, produksi hasil pertanian Indonesia di tahun 2012 secara garis besar adalah seperti terlihat dalam Gambar 1 dan Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1: Hasil produksi pertanian Indonesia berdasarkan FAO (2012)
a) Diperoleh dari jumlah produksi dibagi 247 juta
b) Diperoleh dari konsumsi rata-rata pe tahun dibagi 365.
Dari Tabel di atas kita bisa melihat bahwa produksi pertanian Indonesia secara teori masih mencukupi dalam penyediaan makanan sumber karbohidrat (beras, singkong, ubi), minyak nabati dan buah-buahan. Namun kebutuhan protein nabati dan hewani belum cukup diproduksi, sehingga Indonesia masih harus mengimpor kebutuhan tersebut.
Terutama untuk kebutuhan daging, hasil produksi daging Indonesia tahun 2012 hanya sebesar 3,17 juta ton. Ini berarti, untuk 247 juta orang penduduk, per kepala hanya mendapatkan rata-rata 12,83 kg daging per tahun, atau hanya 245 gram per minggu. Sebagai perbandingan, Jerman pada tahun 2012 menghasilkan 8,4 juta ton daging (FAO). Ini berarti, untuk 80,5 juta penduduk Jerman, per kepala mendapatkan 101,8 kg per tahun. Dengan kata lain, penduduk Jerman dapat mencukupi kebutuhan protein daging setiap hari sebanyak 279 gram, di mana ini lebih tinggi dari yang diperoleh penduduk Indonesia dalam satu minggu.
Yang menjadi tantangan berat bagi Indonesia adalah bagaimana mencukupi kebutuhan pangan untuk 320 juta orang atau bahkan 430 juta orang di masa depan, sedangkan saat ini banyak kebutuhan pangan yang masih harus diimpor untuk menutup kekurangan yang ada di Indonesia. Perlu diingat, bahwa bonus demografi yang sering disebutkan dalam kaitan penyediaan tenaga kerja dan kelas menengah, dapat menjadi bumerang jika kebutuhan pokok pangan tidak terpenuhi.
Pertanian vertikal (Vertical Farming)
Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan industri di negara-negara berkembang seperti di Indonesia, areal lahan pertanian semakin berkurang. Di Indonesia permasalahan ini semakin terasa, yang pada umumnya disebabkan oleh pembangunan pemukiman penduduk yang tidak terencana.
Dari data statistik terlihat lahan panen tanaman pangan Indonesia dalam 12 tahun terakhir tidak ada peningkatan, bahkan malah menurun drastis untuk tanaman pangan tertentu, seperti misalnya kedelai. Oleh sebab itu, produksi tanaman melalui metode horizontal farming di masa datang tidak dapat lagi diandalkan, terlebih dengan adanya proyek-proyek perluasan industri dan eksploitasi sumber-sumber energi baru.
Proyek pertanian vertikal modern pertama kali diperkenalkan pada tahun 1999 oleh Dickson Despommier, seorang professor Kesehatan Lingkungan dan Mikrobiologi di Colombia University, New York, Amerika Serikat. Namun sampai sekarang penerapan pertanian vertikal masih sangat terbatas. Meskipun dengan demikian, sudah ada beberapa di negara Asia yang membuat proyek pertanian vertikal ini dalam skala besar, contohnya di Singapura dan Korea Selatan (Gambar 2).
Keuntungan pertanian vertikal adalah, antara lain sbb:
- Dapat menjadi pemecahan masalah keterbatasan lahan pertanian, terutama di kota-kota.
Konsep pertanian vertikal dapat diterapkan bahkan di daerah urbanisasi yang padat seperti di perkotaan. Yang diperlukan adalah bangunan bertingkat dengan arsitektur yang disesuaikan untuk pertumbuhan tanaman. Saat ini, sudah ada banyak konsep taman di dalam dan di atas gedung perkotaan, seperti misalnya di pusat perbelanjaan, bandara, dan sebagainya. - Ketahanan terhadap perubahan iklim, faktor cuaca dan bencana alam yang dapat mempengaruhi panen.
Dalam mengantisipasi perubahan iklim dan cuaca, pertanian vertikal dapat menjadi benteng ketahanan pangan masa depan. Lahan pertanian horizontal pada umumnya sangat terpengaruh oleh keadaan cuaca (hujan, kekeringan) dan berbagai bencana alam (banjir, gunung meletus, tanah longsor). Berbeda dengan pertanian horizontal, pertanian vertikal tidak rentan terhadap perubahan iklim dan faktor cuaca karena adanya sistem pengaturan iklim lokal. Bahkan jika terjadi bencana alam, kerugian dalam pertanian vertikal tidak sebanyak pertanian horizontal, dan regenerasinya akan lebih mudah.
Gambar 2: Konsep pertanian vertikal yang telah berhasil diwujudkan di Singapura, http://www.urban-growth.com/2013/04/Singapores-vertical-urban-farm.html. Indonesia diharapkan juga memiliki pertanian vertikal di wilayah perkotaan untuk mencukupi kebutuhan pangan di kota tersebut dan mengurangi biaya transportasi bahan pangan dari daerah lain. - Transportasi
Pertanian vertikal akan memudahkan angkutan hasil pertanian dari produsen ke konsumen dengan memperpendek jalur transportasi komoditi tersebut. Tidak seperti halnya pertanian horizontal yang berada di pedesaan dan hasilnya harus diangkut jarak jauh menggunakan kendaraan yang memerlukan bahan bakar, pada konsep pertanian vertikal jarak antara produsen dan pasar dapat diperpendek. Dengan demikian akan terjadi penghematan energi bahan bakar dan biaya transportasi. - Keanekaragaman
Keuntungan lain dari sisi ekonomi adalah adanya keanekaragaman dalam pertanian vertikal, di mana dalam satu bangunan dapat dibudidayakan berbagai jenis tanaman pangan secara terpisah di setiap tingkat. Sehingga, hasil produksi pangan akan diperoleh secara kontinu (berkelanjutan). Hal ini tentu saja akan menguntungkan pasar, sehingga produk alternatif selalu tersedia, jika jenis tanaman pangan tertentu belum dapat dipanen.
Meskipun demikian, masih terdapat kritik terhadap pertanian vertikal, sehingga sampai sekarang hal ini masih sulit dilaksanakan. Salah satu kritik yang menghambat pengembangan pertanian vertikal adalah penyediaan energi yang cukup, terutama dalam hal pencahayaan buatan (lampu). Di negara-negara maju di Eropa dan Amerika, walaupun teknologinya sudah memungkinkan, namun untuk pencahayaan buatan yang mirip atau sama kualitasnya dengan sinar matahari memerlukan biaya yang tinggi, terutama di musim dingin. Selain itu, pada musim dingin, pengaturan suhu dengan menggunakan pemanas akan sangat membutuhkan biaya mahal untuk gedung bertingkat, apa lagi jika hanya digunakan untuk pengembangan tanaman.
Karena dinilai tidak ekonomis, maka sampai sekarang, pertanian vertikal di negara-negara maju masih belum populer untuk diterapkan. Negara-negara tersebut masih banyak mengimpor bahan pangan dari negara-negara pertanian dengan harga yang rendah.
Potensi keberhasilan pertanian vertikal di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan di negara iklim kontinental seperti misalnya Eropa, Amerika Utara. Indonesia memiliki keunggulan dalam pencahayaan alami karena mendapatkan sinar matahari yang cukup setiap hari dan sepanjang tahun. Selain itu, keadaan iklim di Indonesia relatif stabil, baik dari suhu udara maupun kelembabannya.
Adapun, faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam membuat vertical farming di Indonesia, adalah analisa jumlah kebutuhan pangan, pemetaan dan klasifikasi jenis tanaman, analisa neraca kebutuhan energi dan teknologi yang akan diterapkan dan yang terakhir dan tidak kalah pentingnya adalah capacity building, yaitu peningkatan sumber daya manusia, riset dan pengembangan. Diharapkan dalam waktu dekat, Indonesia juga memiliki proyek-proyek pertanian vertikal untuk menunjang pilar-pilar ketahanan pangan nasionalnya.